INDONESIA
SEBAGAI MASYARAKAT MULTIKULTURAL
A. Bentuk-Bentuk
Masyarakat Multikultural.
1.
Multikulturalisme
Isolasionis.
Yang
mengacu kepada masyarakat di mana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup
secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain.
2.
Multikulturalisme
Akomodatif.
Masyarakat
plural yang memiliki kultur dominan, yang membuat penyesuaian dan
akomodasi-akomodasi bagi kebutuhan kultural kaum minoritas.
3.
Mutikulturalisme
Otonomis.
Masyarakat
plural di mana kelompok-kelompok kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan
(equality) dengan budaya dominan dan meng-angan-kan kehidupa otonomi dalam
kerangka politik yang secara kolektif dapat diterima. Kepedulian pokok
kelompok-kelompok kultural terakhir ini adalah untuk mempertahankan cara hidup
mereka yang memiliki hak yang sama dengan kelompok yang dominan. Mereka
menantang kelompok kultural dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat
di mana semua kelompok dapat eksis sebagai mitra sejajar.
4.
Multikulturalisme
Kritikal.
Masyarakat
plural dimana kelompok-kelompok tidak terlalu peduli dengan kehidupan kultural
otonom, tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan
menegaskan ragam perspektif khas dari masing-masing kelompok.
5. Multikulturalisme kosmopolitan.
Paham
yang berusaha menghapuskan batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan
sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya
tertentu. Sebaliknya mereka secara bebas terlibat dalam eksperimen
interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.
B.
Sejarah Perkembangan Multikutural.
Konsep
masyarakat multikultural sesungguhnya relatif baru. Mengutip ujan (2011),
kebijakan multikulturalisme diterapkan untuk pertama kali pada tahun 1971 di
kanada guna mengatasi masalah terkait hubungan antar suku,agama,ras,dan aliran
politik. Komisi kerajaan kanada (Canadian royal commission) mencetuskan
kebijakan ini demi memberi jaminan kepada setiap warga Negara untuk tetap dapat
mempertahankan identitas mereka, berbangga atas adat istiadat warisan leluhur,
dan mempunyai rasa kepemilikan yang mendalam (sense of belonging) terhadap
negaranya.
Australia
menyusul mendeklarasikan diri sebagai masyarakat multikutural pada tahun 1973
sebagai tanggapan terhadap meningkatnya jumlah pendatang dari Negara-negara
asia (asianization) yang acap menimbulkan perbenturan esensi kebijakan multikulturalisme
kota itu ialah kesetaraan, mengahargai hak budaya komunitas lain, serta
diterapkannya prinsip-prinsip demokrasi. Solusi tersebut ternyata sangat
efektif, sehingga dalam waktu singkat segera menyebar dan diadopsi oleh banyak
Negara yang mengahadapi dilema perbedaan juga keberagaman. Dalam perkembangan
selanjutnya multikulturalisme berkembang menjadi ideologi tentang nilai positif
atas kelekatan antar beragam kultur, kesetaraan antar kelompok kultur, serta
tuntutan terhadap Negara agar mendukung keberagamaan tersebut dengan berbagai
cara.
C. Upaya Pemerintah Dalam Proses Menciptakan
Integrasi Nasional Untuk Menciptakan Persatuan Dan kesatuan Pada Masyarakat
Indonesia Yang Majemuk
I.
Menciptakan
integrasi nasional secara vertical (pemerintah dengan masyarakat). Cara-cara
yang dapat ditempuh adalah:
a)
Menciptakan kondisi dan membiasakan diri
untuk selalu membangun konsensus. Kompromi dan kesepakatan adalah jiwa
musyawarah dan sesungguhnya juga demokrasi. Iklim dan budaya yang demikian itu,
bagi Indonesia yang amat majemuk, sangat diperlukan. Tentunya, penghormatan dan
pengakuan kepada mayoritas dibutuhkan, tetapi sebaliknya perlindungan terhadap
minoritas tidak boleh diabaikan. Yang kita tuju adalah harmoni dan hubungan
simetris, dan bukan hegemoni. Karena itu, premis yang mengatakan “The minority
has its say, the majority has its way” harus kita pahami secara arif dan
kontekstual.
b)
Merumuskan kebijakan dan regulasi yang
konkret, tegas dan tepat dalam segala aspek kehidupan dan pembangunan bangsa,
yang mencerminkan keadilan semua pihak, semua wilayah. Kebijakan otonomi
daerah, desentralisasi, keseimbangan pusat daerah, hubungan simetris
mayoritas-minoritas, perlindungan kaum minoritas, permberdayaan putra daerah,
dan lain-lain pengaturan yang sejenis amat diperlukan. Disisi lain
undang-undang dan perangkat regulasi lain yang lebih tegas agar gerakan sparatisme,
perlawanan terhadap ideologi negara, dan kejahatan yang berbau SARA tidak
berkembang dengan luluasa, harus dapat kita rumuskan dengan jelas.
c)
Upaya bersama dan pembinaan integrasi
nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan efektif. Setiap pemimpin di
negeri ini, baik formal maupun informal, harus memilikim kepekaan dan
kepedulian tinggi serta upaya sungguh-sungguh untuk terus membina dan
memantapkan integrasi nasional. Kesalahan yang lazim terjadi, kita sering
berbicara tentang kondisi objektif dari kurang kukuhnya integrasi nasional di
negeri ini, serta setelah itu “bermimpi” tentang kondisi yang kita tuju (end
state), tetapi kita kurang tertarik untuk membicarakan prose dan kerja keras
yang harus kita lakukan. Kepemimpinan yang efektif di semua ini akhirnya
merupakan faktor penentu yang bisa menciptakan iklim dan langkah bersama untuk
mengukuhkan integrasi nasional.
II.
Menciptakan
integrasi nasional secara horizontal antar masyarakat Indonesia yang plural.
Cara-cara yang dapat ditempuh adalah:
a)
Membangun dan menghidupkan terus komitmen,
kesadaran, dan kehendak untuk bersatu. Perjalanan panjang bangsa Indonesia
untuk menyatukan dirinya, sebutlah mulai Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah
Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan 1945, dan rangkaian upaya menumpas
pemberontakan dan saparatisme, harus terus dilahirkan dalam hati sanubari dan
alam pikiran bangsa Indonesia.
b)
Membangun kelembagaan (pranata) di
masyarakat yang berakarkan pada nilai dan norma yang menyuburkan persatuan dan
kesatuan bangsa tidak memandang perbedaan suku, agama, ras, keturunan, etnis
dan perbedaan-perbedaan lainnya yang sebenarnya tidak perlu diperdebatkan. Menyuburkan
integrasi nasional tidak hanya dilakukan secara struktural tetapi juga
kultural. Pranata di masyarakat kelak harus mampu membangun mekanisme peleraian
konflikk (conflict management) guna mencegah kecenderungan langkah-langkah yang
represif untuk menyelesaikan konflik.
c)
Menciptakan integrasi nilai di antara
masyarakat. Integrasi nilai Ramlan Surbakti (1999: 54), adalah persetujuan
bersama mengenai tujuan-tujuan dalam prinsip dasar politik, dan
prosedur-prosedur lainnya, dengan kata lain integrasi nilai adalah penciptaan
suatu system nilai (ideology nasional) yang dipandang ideal, baik dan adil
dengan berbagi kelompk masyarakat. Integrasi nilai Indonesia ada dalam
Pancasila dan UUD 1945 sebagai system nilai bersama.
D.Etnis Suku
Badui Dan Ternate
I.
Suku badui
Suku
Baduy adalah satu dari sekian ratus suku yang ada di Indonesia. Suku ini
terkenal dengan kepribadiannya yang tidak mau dicampuri dengan dunia luar dan
modern, bahkan hanya untuk sekedar difoto saja mereka tidak mau. Kepekaan
terhadap adat istiadat inilah yang membuat wilayah suku Baduy sangat tertutup
sehingga tidak sembarang orang boleh masuk ke dalam wilayahnya. Wilayah suku
Baduy disebut sebagai Kanekes. Populasi penduduk suku Baduy di Kanekes berkisar
8000 jiwa.
a.
Mata
pencaharian
Mata
pencaharian masyarakat Baduy adalah menjadi petani. Petani di Kanekes tidaklah
sama seperti petani pada umumnya karena mereka tidak membajak untuk
menggemburkan tanah, tidak membuat sengkedan untuk pengairan dan lain-lain.
Mereka menanam secara apa adanya, tidak mengubah atau mengolah tanah. Sistem
kepercayaan mereka yang mendorong mereka berlaku demikian. Hal ini berkautan
dengan semboyan mereka diatas, bahwa apa yang sudah ada tidak boleh
dirubah-rubah dalam bentuk apapun. Sehingga dalam hal pertanian pun mereka
tidak mengubah tanah.
b.
Sistem
organisasi kemasyarakatan.
Masyarakat
suku Baduy dibagi menjadi tiga kelompok yang tinggal di daerah yang
berbeda-beda. Kelompok tersebut adalah:
Ø Baduy
Dalam (Kanekes Dalam)
Ø Baduy
Luar (Kanekes Luar)
Ø Baduy
Dangka
Masyarakat
Baduy Dalam adalah masyarakat yang menempati tiga wilayah utama Kanekes, yakni
Cikeusik, Cikertawana dan Cibeo. Masyarakat ini sangat memegang teguh adat
istiadatnya dengan pakaian berwarna putih dan biru tua. Mereka juga suka
mengenakan ikat kepala berwarna putih. Masyarakat Baduy Dalam tidak menggunakan
benda-benda yang berbau modern, seperti alat elektroni dan bahan kimia. Pakaian
yang digunakan pun harus ditenun sendiri berasal dari bahan-bahan yang alami di
sekitar masyarakat tersebut tinggal. Jika ada pakaian yang dijahit, bisa
dipastikan mereka menjahitnya sendiri dengan tangan.
Kelompok
yang kedua adalah masyarakat suku Baduy luar yang berciri khas pakaian hitam.
Mereka juga menggunakan ikat kepala seperti masyarakat Baduy dalam, namun
berwarna hitam juga. Masyarakat ini tinggal di desa yang mengelilingi desa
utama wilayah Kanekes diatas.Masyarakat Baduy luar ini bisa dikatakan adalah
suku Baduy yang diasingkan karena beberapa alasan seperti melanggar peraturan
adat yang ada dalam wilayah Kanekes dalam, menikah dengan orang luar Kanekes
Dalam atau mengundurkan diri dari Baduy Dalam dengan berbagai macam alasan.
Salah satu sebab yang paling banyak adalah penggunaan alat-alat moden seperti
elektronik, bahan kimia dan teknologi lain.
Namun
dalam beberapa hal, masyarakat Baduy Luar masih menerima dan mengakui sebagian
adat masyarakat Baduy. Inilah yang membedakan kelompok Baduy luar dengan Baduy
Dangka. Kelompok ketiga, yakni Baduy Dangka, mereka yang sudah benar-benar
keluar dari suku Baduy, baik secara geografis maupun secara adat istiadat.
Mereka merupakan keturunan suku Baduy Dalam atau luar, namun umumnya sudah
tidak tinggal di wilayah Kanekes.
Suku
baduy memakai system bilineal, yaitu mereka mengikuti garis keturunan dari ayah
dan ibu. Di dalam proses pernikahan pasangan yang akan menikah selalu
dijodohkan dan tidak ada yang namanya pacaran. Orang tua laki-laki akan
bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka
masing-masing.
Setelah
mendapatkan kesepakatan, kemudian dilanjutkan dengan proses 3 kali lamaran.
Tahap Pertama, orang tua
laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan membawa daun sirih, buah
pinang dan gambir secukupnya.
Tahap
kedua, selain membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi
dengan cincin yang terbuat dari baja putih sebagai mas kawinnya.
Tahap ketiga, mempersiapkan
alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak
perempuan. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak mengenal poligami
dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah
satu dari mereka telah meninggal
c.
Sistem
teknologi dan peralatan.
Peralatan
dan Teknologi Kehidupan orang Baduy berpusat pada daur pertanian yang diolah
dengan menggunakan peralatan yang masih sangat sederhana. Dalam adapt Baduy
terutama Baduy Dalam, masyarakat tidak boleh menggunakan peralatan yang sudah
modern. Mereka mengandalkan peralatan yang masih sangat primitive seperti
bedog, kampak, cangkul, dll
- Mereka telah mengenal
teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap merupakan
larangan untuk setiap warga Kanekes, termasuk warga Kanekes Luar. Mereka
menggunakan peralatan tersebut dengan cara sembunyi-sembunyi agar tidak
ketahuan pengawas dari Kanekes Dalam
- Proses pembangunan rumah
penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu,
paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.
- Menggunakan pakaian adat dengan
warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak
suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
- Menggunakan peralatan rumah
tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.
- Mereka tinggal di luar wilayah
Kanekes Dalam
d.
Sistem religi
dan kepercayaan
Kepercayaan
masyarakat Kanekes disebut sebagai Sunda Wiwitan yaitu agama atau kepercayaan
pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur (dinamisme dan animisme) yang
dianut oleh masyarakat. Kepercayaan kepada satu kuasa yang dinamakan Nu Kawasa.
Ajaran Sunda Wiwitan terkandung dalam kitab Sanghyang siksakanda ng
karesia, senuah kitab yang berasal dari zaman kerajaan Sunda yang berisi ajaran
keagamaan dan tuntutan moral, aturan dan pelajaran budi pekerti. Berdasarkan keterangan
kokolot (tetua) kampong Cikeusik, orang Kanekes bukan lah penganut Hindu atau
Budha, melainkan penganut anismisme. Hanya dalam perkembangannya kepercayaan
orang Kanekes ini telah dimasuki oleh unsur-unsur ajaran Hindu, dan hingga
batas tertentu, ajaran Islam. Dalam Carita Parahyangan, naskah Sunda kuno yang
menceritakan sejarah Tanah Sunda, kepercayaan ini disebut sebagai ajaran
“Jatisunda”.
Yang
mana kepercayaan ini meyakini akan adanya Allah sebagai “Guriang Mangtua” atau
disebut pencipta alam semesta dan melaksanakan kehidupan sesuai ajaran Nabi
Adam sebagai leluhur yang mewarisi kepercayaan turunan ini.
Kepercayaan sunda wiwitan
berorientasi pada bagaimana menjalani kehidupan yang mengandung ibadah dalam
berperilaku, pola kehidupan sehari-hari,langkah dan ucapan, dengan melalui
hidup yang mengagungkan kesederhanaan (tidak bermewah-mewah) seperti tidak
mengunakanlistrik,tembok,mobildll.
Ada
beberapa kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy menurut kepercayaan
sunda wiwitan:
1. Upacara Kawalu yaitu upacara
yang dilakukan dalam rangka menyambut bulan kawalu yang dianggap suci dimana
pada bulan kawalu masyarakat baduy melaksanakan ibadah puasa selama 3 bulan
yaitu bulan Kasa,Karo, dan Katiga.
2. Upacara ngalaksa yaitu upacara
besar yang dilakukan sebagain uacapan syukur atas terlewatinya bulan-bulan
kawalu, setelah melaksanakan puasa selama 3 bulan. Ngalaksa atau yang bsering
disebut lebaran.
3. Seba yaitu berkunjung ke
pemerintahan daerah atau pusat yang bertujuan merapatkan tali silaturahmi antara
masyarakat baduy dengan pemerintah, dan merupakan bentuk penghargaan dari
masyarakat baduy
4. Upacara menanam padi dilakukan
dengan diiringi angklung buhun sebagai penghormatan kepada dewi sri lambing
kemakmuran.
5. Kelahiran yang dilakukan
melalui urutan kegiatan yaitu:
- Kendit yaitu upacara 7 bulanan
ibu yang sedang hamil.
- Saat bayi itu lahir akan dibawa
ke dukun atau paraji untiuk dijampi-jampi.
- Setelah 7 hari setelah
kelahiran maka akan diadakan acara perehan atau selametan.
- Upacara Angiran yang dilakukan
pada hari ke 40 setelah kelahiran.
- Akikah yaitu dilakukannya
cukuran, khitanan dan pemberian nama oleh dukun(kokolot)yang didapat dari
bermimpi dengan mengorbankan ayam.
6. Perkawinan, dilakukan
berdasarkan perjodohan dan dilakukan oleh dukun atau kokolot menurut lembaga
adat (Tangkesan) sedangkan Naib sebagai penghulunya. Adapun mengenai mahar atau
seserahan yakni sirih, uang semampunya, dan kain poleng.
Dalam melaksanakan kegiatan
sehari-hari tentunya masyarakat baduy disesuaikan dengan penanggalan:
9. Bulan Kasalapan
10. Bulan Kasapuluh
11. Bulan Hapid Lemah
12. Bulan Hapid Kayu
|
5.Bulan Kalima
6. Bulan Kaanem
7. Bulan Kapitu
8. Bulan Kadalapan
|
1. Bulan Kasa
2. Bulan Karo
3. Bulan Katilu
4. Bulan Sapar
e.
Sistem
pengetahuan
Sistem
pengetahuan orang Baduy adalah Pikukuh yaitu memegang teguh segala perangkat
peraturan yang diturunkan oleh leluhurnya. Dalam hal pengetahuan ini, orang
Baduy memiliki tingkat toleransi, tata krama, jiwa social, dan teknik bertani
yang diwariskan oleh leluhurnya. Dalam pendidikan modern orang Baduy masih
tertinggal jauh namun mereka belajar secara otodidak. Jadi sebetulnya orang
Baduy sangat informasional sekali sebetulnya, tahu banyak informasi. Hal ini
ditunjang karena kegemaran sebagai orang rawayan (pengembara).
Kemungkinan
bahwa budaya lama telah banyak digantikan dengan budaya baru menandakan
sebetulnya budaya sangat relatif dan adaptif di lingkungan Suku Baduy, terutama
Baduy luar. Namun, sebagai pelengkap yang lebih akurat dibandingkan foklore
(cerita rakyat) dan narasumber lainnya, adalah peninggalan sejarah dan
prasejarah yang tertinggal sebagai bukti terkuat, bahwa mereka termasuk
komunitas masyarakat yang tertua di Banten.
Orang
Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan
adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun
fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak
era Suharto pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara
hidupmereka dan membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang
Kanekes masih menolak usaha pemerintah tersebut. Akibatnya, mayoritas orang
Kanekes tidak dapat membaca atau menulis menggambar.
II.
Suku ternate.
Suku Ternate dengan populasi 50.000 jiwa bertempat tinggal
di Pulau
Ternate. Pulau ini termasuk di dalam wilayah
provinsi Maluku Utara dengan ibukotanya Kota
Ternate. Selain berdiam di pulau asalnya, orang
Ternate juga berdiam di daerah lain, misalnya di pulau Bacan dan pulau
Obi yang termasuk wilayah kabupaten Halmahera Tengah serta wilayah lain di dalam dan di luar Provinsi Maluku Utara.
a.
Sistem ekonomi
Tanah
di Kepulauan maluku itu subur dan diliputi hutan rimba yang banyak memberikan
hasil diantaranya cengkeh dan di kepulauan Banda banyak menghasilkan pala. Pada
abad ke 12 M permintaan rempah-rempah meningkat, sehingga cengkeh merupakan
komoditi yang penting. Pesatnya perkembangan perdagangan keluar dari maluku
mengakibatkan terbentuknya persekutuan. Selain itu mata pencaharian perikanan turut
mendukung perekonomian masyarakat.
b.
Sistem mata
pencaharian.
Mata
pencaharian orang Ambon pada umumnya adalah pertanian di ladang. Dalam hal ini
orang membuka sebidang tanah di hutan dengan menebang pohon-pohon dan membakar
batangbatang serta dahan-dahan yang telah kering. Ladang-ladang yang telah
dibuka dengan cara demikian hanya diolah sedikit dengan tongkat kemudian
ditanami tanpa irigasi. Umumnya tanaman yang mereka tanam adalah kentang, kopi,
tembakau, cengkih, dan buahbuahan. Selain itu, orang Ambon juga sudah menanam
padi dengan teknik persawahan Jawa.
Sagu
adalah makanan pokok orang Ambon pada umumnya, walaupun sekarang beras sudah
biasa mereka makan. Akan tetapi belum menggantikan sagu seluruhnya. Tepung sagu
dicetak menjadi blok-blok empat persegi dengan daun sagu dan dinamakan tuman.
Cara orang Ambon makan sagu dengan membakar tuman atau dengan memasaknya
menjadi bubur kental (pepedu).
Disamping
pertanian, orang Ambon kadang-kadang juga memburu babi hutan, rusa dan burung
kasuari. Mereka menggunakan jerat dan lembing yang dilontarkan dengan jebakan.
Hampir semua penduduk pantai menangkap ikan. Orang menangkap ikan dengan
berbagai cara, yaitu dengan kail, kait, harpun dan juga jaring. Perahu-perahu
mereka dibuat dari satu batang kayu dan dilengkapi dengan cadik yang dinamakan
perahu semah. Perahu yang lebih baik adalah perahu yang dibuat orangorang
ternate yang dinamakan pakatora. Perahu-perahu besar untuk berdagang di Amboina
dinamakan jungku atau orambi.
c.
Sistem
organisasi kemasyarakatan.
Sistem
kekerabatan orang Ambon berdasarkan hubungan patrilineal yang diiringi pola
menetap patrilokal. Kesatuan kekerabatan amat penting yang lebih besar dari
keluarga batih adalah mata rumah atau fam yaitu suatu kelompok kekerabatan yang
bersifat patrilinal.
Mata rumah penting dalam hal
mengatur perkawinan warganya secara exogami dan dalam hal mengatur penggunaan
tanah-tanah deti yaitu tanah milik kerabat patrilineal. Disamping kesatuan
kekerabatan yang bersifat unilateral itu ada juga kesatuan lain yang lebih besar
dan bersifat bilateral yaitu famili atau kindred. Famili merupakan kesatuan
kekerabatan di sekeliling individu yang terdiri dari warga-warga yang masih
hidup dari mata rumah asli yaitu semua keturunan keempat nenek moyang.
d.
Sistem
teknologi dan peralatan.
1. Alat-alat menangkap ikan : perahu bercadik
(semah), perahu dari papan (pakatore), perahu berdagang (jungku/orambu)
2. Makanan pokok sagu : cetakan
tepung sagu dari daun sagu (tuman), bubur sagu (pepeda)
e.
Religi dan
kepercayaan
Mayoritas
penduduk di Maluku memeluk agama Kristen dan Islam. Hal ini dikarenakan
pengaruh penjajahan Portugis dan Spanyol sebelum Belanda yang telah menyebarkan
kekristenan dan pengaruh kesultanan Ternate dan Tidore yang menyebarkan Islam
di wilayah Maluku.
Pemantapan
kerukunan hidup beragama dan antar umat beragama masih mengalami gangguan
khususnya selama pertikaian sosial di daerah ini. Redefinisi dalam rangka
reposisi agama sebagai landasan dan kekuatan moral, spiritual serta etika dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus mendapatkan perhatian
yang sungguh-sungguh melalui pendidikan agama agar dapat mendorong munculnya
kesadaran masyarakat bahwa perbedaan suku, agama ras dan golongan, pada
hakekatnya merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Terkait dengan itu, maka
peran para pemuka agama dan institusi-institusi keagamaan dalam mendukung
terciptanya keserasian dan keselarasan hidup berdasarkan saling menghormati
diantara sesama dan antar sesama umat beragama.
f.
Sistem
pengetahuan
Orang
Ambon mengenal upacara cuci negeri yang pada umumnya sama dengan upacara bersih
desa yang dilakukan orang di pulau Jawa. Semua penduduk desa harus membersihkan
sesuatu dengan cara yang baik dan benar. Bangunan bangunan yang harus
dibersihkan adalah Baileu, rumah rumah warga dan pekarangan, bila tidak
dilakukan dengan benar maka akan ada sangsinya yaitu mereka akan jatuh sakit.
Seluruh warga desa akan terkena wabah penyakit atau panennya gagal.
Orang
Maluku Tengah pada umumnya mengenal upacara pembayaran kain berkat, yang dilakukan
oleh klen penganten laki laki, kepada kepala adat dari desa penganten
perempuan, pembayaran itu berupa kain putih serta minuman keras atau tuak,
kalau hal ini dilupakan keluarga muda ini akan menjadi sakit dan mati.
"jadilah seperti bunga yang selalu membuat seseorang tersenyum "